OnWeekend – Timur dan barat mempunyai kebiasan yang khas, dari hal yang dianggap remeh hingga hal yang genting. Perbedaan budaya masyarakat pada dua belahan dunia itu terlihat sudah lazim bagi kita, termasuk kebiasan memakai sepatu atau alas kaki.
Alas kaki dipercaya sudah digunakan oleh bangsa Mesir sekitar abad ke 15 SM. Saat itu alas kaki dibuat dari bahan-bahan seperti kain, daun palem, papyrus, atau kulit. Bagi orang Yunani dan Romawi, alas kaki sangat berhubungan dengan kehormatan, merupakan gaya busana yang elegan. Biasanya yang memakai adalah para tokoh-tokoh terkemuka.
Begitu dekatnya alas kaki dengan kehidupan manusia ini hingga berdampak pada kebiasaan memakainya di tiap wilayah.
Bangsa Asia umumnya mempunyai kebiasan tidak menggunakan sepatu saat di dalam rumah, berkebalikan dengan bangsa Eropa. Beberapa kasus bahkan kita bisa menyaksikan di dalam film Eropa ketika mereka membungkus kakinya dengan alas pada saat tidur. Di serial kartun Doraemon kita kerap menyaksikan Nobita tak pernah lupa melepas sepatu walau ketika sedang buru-buru mencari si Kucing ajaib di dalam rumah.
Kebiasaan yang bagi kebanyakan orang dianggap remeh ini ternyata merupakan satu dari banyak indikator perbedaan budaya timur dan barat. Juga merupakan tanda dari sebuah tatanan masyarakat dalam memandang kesehatan atau bahkan alam.
Bangsa Eropa menganggap dengan memakai alas kaki ketika berada di dalam rumah bisa meminimalisir hal-hal yang tidak sehat terjangkit di kaki kita. Namun orang-orang Asia justru sebaliknya, mempunyai cara pandang yang berbeda.
Kenapa orang Asia tak memakai sepatu ketika di dalam rumah?, mungkin begitu pertanyaan para wisatawan barat yang pernah bertandang ke kawasan Asia.
Baru-baru ini nextshark membeberkan alasan dari pertanyaan di atas, penjelasan yang berdasar pada study yang dilakukan olehh Charles Gerba, seorang ahli microbiologi dari University of Arizona.
Dijelaskan bahwa terdapat sekitar 421.000 jenis bakteri di sepatu, bahkan 96% dari bakteri di sepatu terbukti memiliki coliform, indikator bakteri dari tingkat sanitasi yang biasa terdapat di kotoran hewan dan bahkan manusia.
Selain itu, 27% bakteri di sepatu memiliki E. Coli dan juga 7 jenis bakteri lainnya, seperti Klebsiella pneumonia, bakteri yang menyebabkan infeksi saluran kemih, dan Serratia ficaria, bakteri yang menyebabkan infeksi pernafasan.
Hal tersebut terjadi karena adanya kontak dengan kotoran hewan ketika kita berada di luar rumah, entah ketika kita sedang berada di taman atau di toilet umum. “Kita berjalan dan melakukan kontak dengan kotoran burung, kotoran anjing, dan kuman di lantai toilet umum, yang semuanya itu merupakan sumber dari E. coli,” ungkap Kelly Reynolds, Professor dari University of Arizona.
Dan ya, kebiasaan memakai sepatu ketika di dalam rumah membawa bakteri-bakteri itu sebanyak 90%. Dan tentu saja merupakan sebuah kebiasaan kurang sehat. Rumah yang seharusnya menjadi tempat berlindung dari segala hal yang buruk di luar sana malah menjadi tidak sehat ketika kita justru memasukkan sepatu ke dalamnya.
Kita bisa saja rutin mencuci sepatu kita agar terhindar dari bakteri yang disebutkan di atas, namun hal itu tentu memerlukan waktu yang lebih, dan oleh karena itu solusinya yang sangat tepat untuk menghindari keluarga kita terjangkit bakteri adalah dengan tidak mengenakan sepatu ketika berada di dalam rumah.
Dari sini kita bisa menemukan bagaimana cara pandang bangsa Asia terhadap kesehatan yang begitu maju. Hal seperti ini memang bukan sesuatu yang aneh, bahwa bangsa Asia memang seringkali memiliki budaya yang bersahabat dengan lingkungan sekitarnya.
Kedekatan dengan alam yang membentuk pandangan hidupnya, serta menjadi kebiasaan yang dilakukan secara turun temurun. Inilah kenapa di Indonesia kita kenal kebiasaan nyeker, sebuah simbolisasi dari penyatuan manusia dengan alam tanpa terhalang benda di kaki.