Kembali ke Masakan Rumahan Adalah Keniscayaan

Kembali ke Masakan Rumahan Adalah Keniscayaan

Menu-menu khas masakan rumahan terpampang di meja dalam Nasi Pedes Cipete. Berbagai macam masakan khas rumahan seperti ayam kecombrang dan LIdah Goreng Ketumbar tersaji disini. foto: Albanick Maizar

Memamerkan gambar makanan di media sosial sebelum menyantapnya adalah hal yang biasa terjadi saat ini, entah apa tujuannya. Walau beberapa anggapan mengatakan hal tersebut dilakukan demi meningkatkan kedudukan sosial, sebab gambar-gambar makanan yang diunggah selalu mempunyai nilai kebarat-baratan dengan nama yang sulit diucapkan, sangat jarang rasanya kita lihat para netizen mengunggah foto jengkol, kecombran, kluwek, Papeda atau makanan tradisional lainnya.

Narasi tentang makan makanan yang kebarat-baratan akan terlihat lebih keren ketimbang makanan tradisional memang tak bisa dinafikan. Entah apa yang menjadi alasan hal itu bisa terjadi, padahal jika boleh jujur, makanan Indonesia selalu menyimpan rasa yang menakjubkan, campuran beragam rempah yang eksotis membuat masakan Indonesia terasa kuat bumbunya.

Kita semua sudah tahu bahwa para penjajah dahulu jauh-jauh mengarungi lautan dan mengacuhkan mitos-mitos lautan hanya demi mencari bumbu makanan. Lantas apa alasannya menganggap makanan western bisa meningkatkan posisi sosial (media)?

Menanggapi trend atau tesis tentang hal tersebut belakangan banyak rumah makan yang justru berkonsep makanan rumahan, salah satunya adalah Nasi Pedes Cipete. Baru-baru ini saya diajak seorang kawan untuk bertemu di sana, tak sengaja memang, saat itu kita memang sedang berada di sekitaran Cipete, dan karena di wilayah tersebut sudah banyak rumah makan yang mengusung konsep kebarat-baratan, yang kalau kata para fundamentalis: masakan kafir, maka saya dan kawan sepakat untuk bertemu di Nasi Pedes Cipete, ini kali pertama saya makan di rumah makan yang sedang hits ini, sebelumnya memang dibuat penasaran oleh beberapa tanggapan tentang rumah makan yang mengusung cita rasa Indonesia ini.

Singkat cerita saya dan kawan bertemu di rumah makan tersebut. Dan yeah!, Saya dibuat terkejut dengan menu-menu yang disediakan, semuanya adalah masakan yang diracik dengan bumbu serta bahan asli Indonesia, dan tak hanya itu lauk yang disediakan juga banyak banget, yang bikin unik adalah nasi di rumah makan ini tak hanya nasi putih aja, tapi ada 4 jenis nasi, nasi Kluwek, Nasi Kencur, Nasi Kunyit, dan tentu saja nasi putih. Agil emang!, hanya satu menu yakni nasi aja bisa diolah berbagai macam jenis menggunakan rempah-rempah.

Saya lantas memesan nasi kluwek dan juga lidah goreng ketumbar serta daun singkong tumbuk, kawan saya milih Nasi Kecur, Ayam Kecombrang, dan Sayur goreng asem.

Menyantap Lidah Goreng Ketumbar yang begitu gurih dan meresap banget bumbunya tentu adalah kenikmatan, saya lantas teringat novel Raden Mandasia Si Pencuri Sapi karya Yusi, distu penggambaran daging sapi yang diolah begitu nikmat sesuai dengan letak daging tersebut termasuk lidah.

Juga Nasi kluwek yang sepintas seperti nasi merah itu rasanya wiiiiidddddih  banget, saya memang nggak tahu apa itu Kluwek makanya itu penasaran dan memasannya, dan kemudian saya mencari tahu apa itu Kluwek, ternyata ia berasal buah kepayang dan jelasnya buah itu beracun, jadi butuh pengolahan khusus untuk menhidangkannya, nggak sangka buah yang beracun pun bisa menjadi makanan enak.

Daun singkong tumbuk yang awalnya agak saya sepele kan sebab menurut saya daun singkong dimana-mana pasti sama rasanya, tapi ternyata saya salah, daun singkong tumbuk di restoran ini begitu medok bumbunya, berasa banget. Suatu hal yang nggak bakal didapat ketika berkunjung ke restoran western.

Setelah selesai menyantap makanan di restoran yang sedang naik daun ini, say lantas berpikir bahwa keberagaman suku bangsa yang ada di Indonesia ini berdampak pada kekayaan kuliner.

Budaya makan negara ini pun jelas begitu unik, misalnya Batak yang mempunyai istilah ’Taramak sobalu non, parabi naso mittop, parsankalan nasora mahiang’ yang berarti tikar yang tak pernah digulung dan api yang tak pernah padam. Hal itu menggambarkan kebiasaan orang Batak yang senang bertamu. Atau di Jawa mengenal istilah tamu adalah raja. Begitu jelas menunjukan bahwa tak hanya makanannya saja yang beragam tapi juga proses dan cara makan.

Makanan adalah identitas, lidah menunjukan dari mana anda berasal, pesisir atau pegunungan, daerah dingin atau panas.

So, kembali ke makanan rumahan adalah niscaya, karena kita tak akan pernah kemana-mana, lidah kita yang menuntut itu, persoalan biologis tak akan kalah dengan persoalan gengsi.