Istirahatlah Kata-kata, Gambaran Utuh Otoritarianisme Orba

Istirahatlah Kata-kata, Gambaran Utuh Otoritarianisme Orba

OnWeekend – Ketakutan, kecemasan dan kesunyian. Itulah tiga kata yang pantas untuk mendeskripsi film Istirahatlah Kata-kata garapan sutradara Yosep Anggi Noen. Secara garis besar film ini menceritakan tentang kisah pelarian seorang Wiji Thukul (diperankan oleh Gunawan Maryanto), aktivis sekaligus penyair,  pada masa otoritarianisme Orde Baru (Orba).

Film ini mengambil bagian kehidupan Wiji Thukul pada 1997, dimana pada saat itu aktivis serta penyair yang juga anggota Partai Rakyat Demokratik  (PRD) ini lari ke Pontianak, Kalimantan Barat. Pada saat dalam pelarian itu rasa takut, cemas dan rindu bercampur aduk dalam diri seorang Thukul. Takut dan cemas akan kejaran para tentara yang saat itu memang sangat ganas terhadap aktivis-aktivis pembela demokrasi, dan rasa sunyi karena jauh dari  istri dan anaknya  di Solo.

Setidaknya ada beberapa penanda yang sangat jelas menggambarkan tentang ketakutan, kecemasan dan kesunyian dalam film tersebut.

Pertama, saat menit-menit awal film ini dimulai. Seorang intel yang memakai jaket kulit dan berpakaian serba hitam, menginterogasi anak Wiji Thukul, Fitri Nganti Wani, yang ditemani sang Ibu, Sipon,  diperankan oleh Marissa Anita.

“Bapakmu kapan pulang?”

“Bapakmu sering membelikanmu mainan, ya?”

Begitulah tanya seorang intel yang bertampang keras kepada seorang anak kecil. Dalam adegan ini atmosfer ketakutan berhasil dihadirkan di awal cerita.

Selanjutnya, saat Thukul baru tiba di Pontianak dan menginap di rumah Thomas, salah seorang kawan yang menampungnya di Pontianak.

“Ada pintu lain enggak kalau-kalau aku harus kabur?” tanya Thukul kepada kawannya itu.

Ini menjadi penanda kondisi saat itu yang sangat mencekam. Sewaktu-waktu bisa saja para intel atau aparat militer lainnya menggerebek tempat persembunyiannya. Selain itu, penanda ini diperkuat dengan adegan ketika Thukul mengukur tingginya dinding tempat persembunyiannya dengan tali.

Selanjutnya, dalam adegan ketika Thukul dengan temannya dicegat oleh orang edan yang bercita-cita menjadi tentara. Pertanyaan-pertanyaan seperti “kamu siapa?” dan “dari mana asalmu?” keluar dari mulut si orang edan itu. Pertanyaan yang interogatif.

Lalu, ketika seorang tentara yang menggeser dirinya di tempat pangkas rambut. Dalam adegan itu, sang sutradara berhasil menampilkan suasana Orba, dimana tentara menunjukkan sikap arogan. Saat itu sang tentara yang tengah dicukur rambutnya bertanya kepada Thukul dan temannya dengan nada sinis dan tentu saja sangat interogatif.

Thukul berteman dengan ketakutan, kecemasan, dan kesunyian dalam pelarian. Melalui penanda-penanda itu, dan masih banyak penanda lainnya, film ini cukup berhasil membawa penonton seakan ikut merasakan ketegangan yang dirasakan Thukul saat rezim Soeharto. Di mana, sebagai buron politik pada rezim otoriter, nyawa manusia seperti Thukul, dan teman-teman aktivis lainnya yang memperjuangkan demokrasi, sangat murah harganya.

Terlepas dari kekurangan dari segi alur cerita dan sebagainya, setidaknya film ini menjadi pengingat kita semua, bahwa Indonesia hari ini adalah buah perjuangan Wiji Thukul, para aktivis demokrasi, dan mereka yang sampai detik ini dihilangkan.

Jenis Film : Drama, Biography

Produser : Yosep Anggi Noen, Yulia Evina Bhara, Tunggal Pawestri, Okky Madasari

Sutradara : Yosep Anggi Noen

Penulis : Yosep Anggi Noen

Produksi : Muara Foundation, Kawan Kawan Film, Partisipasi Indonesia, Limaenam Films