OnWeekend – Film yang dirilis pada bulan Juli tahun 2016 ini cukup unik. Menghadirkan sebuah tema drama dan komedi keluarga namun memiliki wacana yang cukup serius dan terbungkus dengan indah mengenai kritik terhadap realitas, negara serta budaya modern.
Captain Fantastic menceritakan seorang kepala keluarga bernama Ben Cash (diperankan Viggo Mortenssen) yang memiliki enam orang anak yaitu Bodevan, Kielyr,Vespyr, Rellian, Zaja dan Nai Cash. Tidak seperti kebanyakan kepala keluarga atau orang tua lainnya yang memilih membesarkan anak-anak mereka di perkotaan agar mendapatkan pendidikan terbaik dan mampu berinteraksi dengan perubahan zaman, Ben bersama istrinya Leslie justru mempunyai keinginan untuk membesarkan anak-anak mereka jauh dari peradaban, terisolir oleh orang lain serta hidup tanpa bantuan teknologi.
Mereka tinggal disebuah pedalaman hutan di Washington. Ben mendidik anak-anaknya untuk dapat berpikir kritis, mengajari mereka untuk dapat hidup berdampingan langsung dengan alam bebas serta membuat anak-anak tersebut secara fisik untuk memiliki tubuh yang kuat dan atletis.
Apa yang dilakukan Ben tentunya bukan tanpa alasan, dalam film ini diceritakan bahwa dia bersama istrinya memiliki idealisme yang cukup tinggi dalam memandang realitas kehidupan. Dia tidak ingin anak-anaknya nanti pada akhirnya menjadi hanyut ke dalam budaya konsumtif yang terlahir akibat derasnya kapitalisasi di segala bidang. Menurutnya kapitalisasi inilah merupakan penyebab dari merosotnya tatanan kehidupan dewasa ini.
Tentunya hal ini sedikit mengingatkan kita dengan mewabahnya demam hippie pada dasawarsa ’60-an di Amerika serta beberapa negara lainnya. Gerakan budaya ini bertujuan dan tampil sebagai sebuah subkultur dari realitas yang mereka pandang telah rusak oleh budaya konsumerisme. Mereka menolak tatanan ini dan memilih untuk membentuk komunitas utopis mereka sendiri. Di mana dalam komunitas ini mereka bisa mengekspresikan diri mereka tanpa terikat dengan aturan baku, baik dalam standar moralitas secara umum maupun standar moralitas yang lahir dari konsepsi agama yang “well-established” dalam agama samawi.
Dalam film ini banyak sekali representasi dari bagaimana kaum hippie menjalani kehidupannya. Walaupun Ben dan keluarganya tidak secara terang-terangan mengatakan bahwa mereka merupakan komunitas hippie, setidaknya ada beberapa ciri yang cukup menonjol tentang keseharian keluarga Ben baik dalam cara pandang mereka melihat kehidupan, cara mereka berpakaian, atau bagaimana mereka berupaya menampilkan diri mereka yang berbeda dari orang lain. Mereka yang memilih mengalienasi kehidupan mereka ini cocok dikategorikan sebagai salah satu bentuk komunitas hippie tersebut.
Kritik sosial keluarga Ben terhadap realitas
Salah satu unsur penting dalam gerakan hippie seperti yang ditulis dalam ensiklopedia Britannica adalah kritik mereka terhadap budaya kelas menengah serta politik mainstream yang menurut mereka telah tunduk ke dalam tatanan yang materialistik dan represif. Hal ini pun tampil dan ditunjukkan dalam film yakni salah satunya saat keluarga Ben melakukan perjalanan untuk menghadiri pemakaman Leslie. Ditengah jalan Ben yang meniru pemandu tur mengatakan “… Urusan (business) Amerika adalah berdagang (business). Demokrasi yang kita miliki adalah satu dari beragam pandangan cemerlang tentang keadilan sosial di dalam sejarah umat manusia. Tetapi tetap saja para penduduknya malah sibuk mengantri untuk berbelanja sebagai kebutuhan utama interaksi sosial mereka.”
Tidak hanya itu, ada juga adegan menarik yang menunjukkan pemahaman Ben dalam melihat realitas yang ada, saat anak-anaknya mengingat argumentasi Ben mengenai kesehatan dan rumah sakit di Amerika yang hanya mementingkan sisi industri semata. Ben pernah bilang bahwa masyarakat Amerika sebenarnya minim pengetahuan tentang kesehatan dan hanya dijejali dengan beragam obat-obatan saja agar industri medis ini tetap berjalan.
Penolakan terhadap hal yang mainstream
Para Hippie berangkat dari titik tolak pandangan yang mengkritisi segala bentuk aturan sosial yang ada. Hal ini dapat terlihat jelas dari penampilan mereka yang sedikit eksentrik, mereka berpendapat bahwa segala hal yang ditampilkan haruslah sesuai dari apa yang mereka inginkan, bukan berdasar atas pandangan orang lain terhadap dirinya.
Mereka umumnya menampilkan diri dengan memakai pakaian yang berwarna cerah dan mencolok, beberapa terlihat memakai ikat kepala seperti bandana dan dihiasi bunga untuk para wanitanya. Para pria juga terlihat dengan rambut mereka yang panjang serta memiliki janggut yang tebal menutupi wajah mereka. Tetapi tentunya sikap yang berbeda dari kebanyakan orang ini bukan hanya tampilan luarnya saja, mereka pun memiliki sikap ideologis yang juga anti mainstream. Mereka menjunjung tinggi nilai anti kekerasan serta umumnya berfikir liberal. Dalam persoalan preferensi agama, mereka cenderung lebih menyukai filosofi ketimuran yang mencoba melihat ke dalam diri untuk menemukan arti dari sebuah kehidupan.
Beberapa adegan film ini pun menampilkan sikap demikian. Saat Ben dan anak-anaknya menghadiri prosesi pemakaman Leslie, mereka tidak tampil seperti kebanyakan orang di sana yang berpakaian serba hitam tanda belasungkawa. Ben beserta anak-anaknya justru tampil dengan menggunakan pakaian yang berwarna warni dan sangat mencolok di tempat tersebut.
Tidak hanya itu, ditengah ritual prosesi Ben menyela perkataan pastur dan maju kedepan podium untuk membacakan wasiat terakhir dari istrinya tersebut “Pertama, Leslie menganut ajaran Budha, dimana baginya ajaran ini lebih merupakan sebuah filosofi dibanding agama yang teroganisir… Agama yang terorganisir merupakan dongeng yang paling berbahaya.” Lucunya, pernyataan ini diungkapkan Ben di gereja tempat prosesi sebelum pemakaman.
Lebih lanjut dia mengatakan “Agama diciptakan untuk membuat orang beriman secara buta dengan memberikan rasa takut ke hati setiap pengikutnya.“ Ben dan keluarganya jelas tidak menyukai ajaran agama Kristen dengan alasan yang diutarakan di atas. Hal ini tentunya bertolak belakang dengan preferensi pilihan agama orang-orang kebanyakan. Namun, bukan berarti Ben melarang anak-anaknya untuk menganut agama tertentu, Ben sangat menjunjung tinggi nilai kebebasan pendapat di dalam keluarganya. Terbukti pada saat salah satu anaknya, Rellian, mempertanyakan kenapa mereka tidak seperti kebanyakan orang lainnya yang merayakan natal, malah mereka merayakan ulang tahun Noam Chomsky yang hanya seorang filosof. Ben pada saat itu tidak serta merta melarang anaknya untuk merayakan natal, tapi malah mendorongnya untuk berfikir kritis dan bisa menjelaskan kenapa mereka harus merayakan natal.
Tidak hanya dalam soal agama, tetapi pada umumnya memang komunitas hippie ini cenderung menolak segala bentuk institusi yang mengikat kebebasan meraka. Anak-anak muda yang kritis pada saat itu banyak pula yang memilih meninggalkan sekolah serta pekerjaanya, hanya untuk memilih menjadi seorang hippie.
Sedang di film ini, Ben memilih untuk tidak mempercayakan anak-anaknya dididik oleh sekolah formal. Dia mendidik anaknya secara homeschooling. Dia menolak institusi pendidikan karena menurutnya sekolah tidak lantas akan membuat anaknya menjadi cerdas. Dia memilih metode pendidikannya sendiri dan boleh dibilang cukup berhasil.
Hal ini tentunya ditentang oleh keluarga Ben yang lain. Mereka memandang apa yang dilakukan Ben terdahap anak-anaknya justru akan membuat mereka menjadi orang-orang yang bodoh dan pada akhirnya sulit mencari pekerjaan. Bahkan lebih parah lagi, mereka pun takut pendidikan Ben akan membuat anak-anaknya terbunuh.
Tetapi Ben memberikan bantahan yang bagus. Ia membandingkan anaknya yang berusia 8 tahun, Zaja, yang jauh lebih cerdas dibandingkan para sepupunya yang jauh lebih tua dan diberikan pendidikan formal. Zaja mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya cukup sulit dijawab oleh anak seumurannya. Dia menjelaskan dengan matang tentang konsep Bill of Right Amerika “tanpa Bill of Right, kita mungkin akan mirip dengan China. Disini, setidaknya kita tidak mengenal pemeriksaan tanpa surat penggeledahan, kita punya kebebasan dalam berpendapat, dan para masyarakat terlindung dari hukuman yang kejam dan sadis.”
Lebih lanjut Zaja juga berhasil menjelaskan inti poin dari keputusan makamah agung pada tahun 2010 tentang pemilu di Amerika “Korporasi memiliki kesamaan hak seperti masyarakat, jadi mereka tidak memiliki batasan dalam memberikan bantuan modal terhadap para calon pemimpin. Dengan kata lain negara kita dikuasai oleh para juru lobi dan korporasi yang mendanai para kandidat.”
Kejadian ini cukup mencengangkan bagi anggota keluarga lainnya, mereka kaget ternyata anak-anak Ben justru jauh lebih pintar walaupun tidak bersekolah.
Segala bentuk representasi hippie dalam film ini sebenarnya hanya satu dari sekian banyak cara pandang dalam melihat isi ceritanya. Tidak juga lantas kemudian memberikan justifikasi bahwa film ini tidak bisa dilihat cara yang berbeda. Tentunya, salah satu tujuan representasi ini adalah untuk memberikan satu persepsi yang unik dan positif, dimana kita bisa melihat di film ini bahwa manusia dapat hidup secara luar biasa tanpa bantuan teknologi mutakhir, tanpa merusak alam, dan tanpa pula harus sibuk dengan hiruk-pikuk kehidupan kosmopolitan yang akut dengan segala permasalahanya.
Seperti juga layaknya kaum hippie yang penuh cinta, film Captain Fantastic ini pun beranjak dari kisah cinta dan pengorbanan demi keluarga yang disayang. Karena mungkin saja semboyan “make love, not war” kaum hippie telah dipraktekkan dengan sempurna oleh Ben dan keluarganya.