Blood Diamond, Koreksi Fiktif Jurnalisme Dari Maddy Bowen

Blood Diamond, Koreksi Fiktif Jurnalisme Dari Maddy Bowen

OnWeekend – Ibarat patung telanjang di tengah kota, tak perlu didebat lagi bahwa banyak jurnalis di Indonesia berprinsip “pantang pulang sebelum jelas.” Untuk  memperhalus kata, jelas kemudian diplesetkan menjadi jale. Prinsip itu mungkin menjadi masa depan jurnalisme.

Kisah fiksi yang sepadan tentang jurnalisme dapat direnung  dari Maddy Bowen (Jennifer Connely) dalam Blood Diamond (2008). Maddy berprofesi sebagai jurnalis perang pada sebuah majalah di AS. Dia sosok yang cerdas, kritis, dan berwajah latin. Mendapat kesempatan yang bagus, Maddy Bowen datang ke Sierra Leone untuk melakukan liputan investigasi perang sipil.

Apa yang dirasakan Maddy sedikitnya tidak berbeda jauh dengan para jurnalis lain. Di Sierra Leone Maddy pertama kali menganalisa peta konflik, bergaul dengan komunitas ekspatriat, mengumpulkan data sambil mencari narasumber yang relevan. Dia menghabiskan waktunya berlama-lama di negara orang.

Putaran roda berubah ketika Maddy berkenalan dengan Danny Archer (Leonardo DiCaprio). Danny bukan pejabat atau loyalis pemerintah, melainkan bekas tentara bayaran sebuah firma militer. Danny yang berpenampilan urakan adalah oportunis kelas wahid. Sekilas tidak ada yang bisa diharapkan darinya. Kepentingannya hanya satu, mencari berlian pink untuk dijual ke perusahaan perhiasan internasional yang berbasis di Belgia. Dan Danny tahu betul salah seorang yang menemukan berlian itu, Solomon Vandy (Djimon Hounsou).

Blood Diamond adalah film yang mengetengahkan segitiga kepentingan yang sangat tajam. Danny hanya ingin uang, Maddy berharap menulis liputan indepth, sedangkan Solomon berharap berlian sebesar ujung jari telunjuk yang dia temukan dapat mempertemukannya dengan istri dan anaknya di pengungsian.

Secara nalar, Danny Archer bukanlah sumber berita yang berkelas. Dia tidak tahu bocoran informasi dari elit politik, apalagi para polisi internasional. Namun di tangan Maddy Bowen logika itu terjungkal dan menjadi benda klasik. Dari sebungkil berlian pink, Maddy menyigi jejak konflik sampai ke akarnya. Dia terjun langsung ke daerah konflik tanpa pengawalan, berada di tengah ancaman pihak-pihak yang rumit dan oportunis.

Sampai sebuah titik di mana Danny Archer menyatakan putus asa membantu investigasi itu. Konflik sudah meruncing, dan Kolonel Coetze, mantan atasan Danny ketika menjadi tentara bayaran juga menginginkan berlian milik Solomon itu.

Maddy berang sejadi-jadinya. Alih-alih memaklumi, dia berkata, “Aku melihat para ibu tewas, mayat-mayat tanpa anggota badan, dan itu omong kosong!…Aku muak menulis jumlah korban, tetapi cuma hal brengsek itu yang bisa aku lakukan! Sebab yang aku butuhkan nama, tanggal, foto, dan rekening bank…”

Media dan jurnalis ada di mana pun, namun yang diberitakan hanya perkiraan cuaca dan pertandingan olahraga. Sierra Leone adalah medan perang, korban berjatuhan setiap detik, dan TV hanya merekamnya 1 menit sehari, demikian Maddy.

Sekali lagi Maddy Bowen sama saja dengan jurnalis dengan prinsipnya yang menginginkan kejelasan dalam tugasnya. Perbedaannya dia pulang ke negaranya membawa data investigasi yang akurat, bukan amplop yang berat. Maddy meninggalkan Sierra Leone setelah menyimpan nomor rekening perusahaan, bukan meninggalkan nomor rekening.

Blood Diamond merupakan salah satu film terpenting dalam satu dekade terakhir. Tak heran jika DiCaprio sangat berharap dirinya mendapat Academy Award untuk karakternya di film tersebut. Dan film ini bukan saja tentang perang-perangan atau keindahan berlian merah muda, tetapi juga pelajaran prinsip jurnalisme:

Pantang pulang sebelum jelas.