OnWeekend – Mustahil bagi seseorang memilih hidup di era seperti apa. Yang terjadi sekarang dunia serba cepat dan praktis. Segala sesuatu diukur dengan kemudahan, sehingga kita sering bertanya, “kenapa harus melakukan ini dan itu secara repot?”
Ketika berangkat ke kantor atau menghadiri kuliah, setiap orang perlu memastikan baterai smartphone-nya telah terisi penuh. Ditambah jaringan internet, semuanya terasa cukup. Generasi milenial sangat hapal prosedur aktifitas macam ini. Bagi generasi satu dekade sebelumnya, membawa note book atau buku catatan itu wajib. Mereka menulis semua hal di situ, jadwal kencan, judul buku, hingga resep masakan.
Hanya kurang dari dua dekade, buku catatan telah terlindas oleh aplikasi serba canggih yang terhubung dalam satu genggaman. Orang-orang menggilai Evernote hingga yang paling sederhana aplikasi note bawaan smartphone. Baikkah perubahan ini, atau justru sebaliknya? Tentu jawabannya relatif.
10 tahun lalu setiap awal semester murid hingga mahasiswa masih mencari buku catatan sebelum memasuki hari pertama belajar. Perusahaan mencetak buku dalam jumlah besar sebagai merchandise atau sekadar dibagikan kepada karyawannya. Tradisi ini masih tersisa, dan tinggal menunggu waktu untuk mengatakan punah.
Gadget yang makin terjangkau adalah alat ‘pemusnah’ kebiasaan handwriting atau tulisan tangan. Sampai hal-hal kecil kita jarang mengeluarkan pena dan buku demi mencatatnya. Institusi pendidikian juga kian modern, secara bertahap mengganti buku catatan dengan laptop dan proyektor. Ini sangat efektif membantu hilangnya kebiasaan menulis.
Bagaimana kalau diajukan nama-nama Thomas Jefferson, Muhammad Hatta, Napoleon Bonaparte, Ronald Reagan yang semuanya menulis di buku catatan. Mungkin jawabannya, “Ya, pantas saja. Sebab mereka belum mengenal smartphone dan laptop.”
Penerapan teknologi informasi dalam pendidikan hendaknya perlu menunjuk Finlandia. Sejak 2015 negara yang masih agak sosialis itu secara komplit mengganti handwriting dengan keyboard. Penguasaan komputer menjadi kompetensi nasional, walaupun itu bukan kurikulum. Mereka menyebutnya Keyboard Classes. Metode ini didasari anggapan sederhana bahwa dunia telah berubah.
Australia yang juga disebut memiliki kualitas pendidikan terbaik di dunia secara bertahap mengikuti jejak Finlandia. Jika di era 1960-an murid rata-rata menulis 45 menit dalam sehari, sekarang hanya 5 menit. Pendukung komputer secara berapi-api mendorong penerapan teknologi secara optimal. Alasannya, pekerjaan tidak lagi terlalu membutuhkan handwriting. Menulis di atas kertas secara cepat berubah tidak lagi menjadi gadis seksi.
Secercah harapan pelestarian handwriting ditunjukkan bos Microsoft, Bill Gates. Dia masih menulis konvensional. Membawa buku catatan dan menulis beberapa hal penting secara rutin. Generasi sebaya Bill Gates, John Doerr dan Ron Conway—keduanya investor kelas kakap di Sillicon Valley—masih mempertahankan tradisi handwriting.
Apabila kemajuan teknologi tak bisa lagi dilawan, paling tidak ada beberapa alasan mempertahankan kebiasaan handwriting. Pertama, buku catatan adalah asisten pribadi kamu yang selalu ada. Kamu bisa saja bosan dengan perangkat milikmu saat smartphone terbaru dirilis. Kamu bisa juga kehilangan data dengan berbagai sebab. Tetapi dengan menulis, catatan kamu bisa bertahan dalam waktu lama.
Kedua, handwriting dapat mengasah kemampuan kamu dalam mengingat. Saat menulis tangan lebih banyak komponen di dalam otak yang bekerja dibandingkan dengan mengetik. Kamu juga sekaligus dapat belajar membuat keputusan dengan cepat, menghapus tinta tidak segampang memencet tombol backspace atau delete.
Yang terakhir, hanya kamu yang mengetahui tulisanmu. Buku catatan punya sifat kerahasiaan yang jauh lebih rapat daripada file komputer. Rahasia adalah kekurangan komputer dan teknologi sejenis. Bahkan jutaan kawat rahasia saja sudah dibobol para peretas.